
Hangat matahari senja terasa dingin di bawah kaki gundukan tanah yang menjulang gagah diantara saya. Sore itu, saya merasa begitu sangat kecil. Matapun tak berhenti takjub memandangi kaki-kaki gunung yang menancap kokoh kebawah tanah dan menjulang tinggi seolah meniangi langit. Menahannya supaya tidak jatuh.
Kaki ini melangkah melewati sebuah pura dibawah kaki kawah kaldera bromo. Terlihat beberapa lelaki dengan pakaian yang khas, berdoa begitu khusyuk meski diantara keramaian derap kaki pengunjung wisata, dan bunyi lompatan gagah kuda-kuda yang lalu lalang membawa pejalan kaki menuju ke anak tangga kawah bromo.
Seseorang menghampiriku dari belakang, lelaki tua dengan kulit yang sudah tak mampu menahan usia pemiliknya.
“ayo mas, naik kuda saja. Jauh loh perjalanannya. Supaya tidak capek, mending naik kuda”
Saya menatapnya sambil tersenyum seraya berujar, “oalah ndak mas, aku ini datang mau cari rasa capek justru, sekalian menikmati indahnya ciptaan Tuhan”, bapak tersebut balik melempar senyumnya yang terlihat menyembunyikan kekecewaan atas penolakan saya. Lalu bapak tersebut pamit menjauh, mungkin beliau mencari turis lain yang terlihat kelelahan sehingga akan lebih mudah baginya menarik minat penumpang tersebut.

Kaki saya yang bersembunyi didalam sepatu bertali ini, tidak mampu menahan lelah tubuh saat menapaki kaki kaldera bromo menuju keatas. Bukan karena saya manja, tetapi medan yang berpasir menambah berat langkah kaki ini. Sesekali saya harus berhenti berjalan untuk memberi ruang bagi paru-paru bernapas. Satu hirupan saja, terasa kehidupan baru seakan merasuki aliran darah dengan perasaan tenang. Udara berbeda yang tidak dapat saya temui di Jakarta tentunya.
Tiba-tiba, saya harus menghentikan langkah kaki saya yang membentur beton. Lalu bibir ini tak kuasa untuk menahan senyum, saya tahu, saya hampir berada di puncaknya. Saya alihkan tubuh kesudut lain dan saya tertegun seketika. Telapak kaki saya yang mulai kesakitan justru merasakan suatu energi baru yang tanpa sadar membuat saya melompat, berteriak, dan berteriak untuk kedua kalinya sambil mengepalkan tangan. Tentu saja saya sesemangat ini. Di hadapan saya, terhampar sebuh lanskap mencengangkan, sebuah Potret Mahakarya Indonesia !
Bromo dari bukit pananjakan
Setelah bangun dari istirahat karena lelah, semangat saya kembali terisi penuh. Saya lalu meneruskan perjalanan saya menuju bukit pananjakan menaiki motor yang saya sewa. Pagi itu langit masih gelap, adzanpun belum berkumandang, jam saya menunjukan pukul 3 dini hari. Menurut warga sekitar, jam 3 adalah jam yang paling ideal untuk mengejar sunrise. Dan benar saja, sesampainya saya di bukit pananjakan, area tersebut belum begitu ramai oleh pengunjung sehingga saya bebas memilih tempat berdiri menunggu sunrise. Sambil menunggu, saya memesan segelas kopi yang saya beli dari sebuah warung di sana. Tak sampai 2 menit, kopi saya mulai dingin. Udara saat itu memang hampir 10 derajat celcius.
Orang-orang mulai menyemut di tepi bukit. Ternyata, matahari mulai menampakan warnanya yang keemasan. Begitu indah sekali! Sayapun bergegas mengambil kamera dan memotretnya dari segala sisi, dan semuanya menghasilkan foto yang cantik. Sekali lagi saya tertegun dengan POTRET MAHAKARYA INDONESIA yang sedang disuguhkan di hadapan kedua mata saya.

Saya duduk ditepi batu, membenamkan diri dalam riuhnya manusia yang memekik kagum pada keagungan Tuhan, saya berdiam diri, membiarkan pipi saya dibelai angin gunung bromo, angin yang seolah mengajak saya untuk tinggal lebih lama. Angin yang akhirnya memberi saya kesadaran, bahwa Indonesia, adalah tempat di mana cinta saya harus melabuhkan jangkar, dan merawatnya seperti kekasih yang tidak akan pernah saya tinggal pergi.

Dalam hati kecil, saya berujar.
“Indonesia, aku cinta kamu”
Aku mau ke Bromo!
Baca ceritamu, semakin memantapkan keinginanku untuk ke Bromo, sang potret mahakarya Indonesia 🙂
ikut yuk.. tanggal 2 nopember ini aku ke bromo lagi. 2 kali dalam sebulan. hahahahh
visual dan menyentuh. bahkan untuk saya yang sudah berkali-kali ke Bromo sekali pun. well done Bul, eh Fan!
Hahaha mbak novii!! Anyway, makasih ya apresiasi nya. Jadi semakin semangat buat nulis terus ^^
eaakkkk dapet eaakkk =))))
Ahahha mbok komentarin juga artikelnya *sasakan*
taun depan ke sana ah.. kalo bisa sebelom Ramadan. *AMIN!*
Amin mas bil. Atau cobain deh solat idul adha disana.
pas baca-baca eh familiar banget sama kata potret mahakarya indonesianya itu.
hehehehe ternyata itu tagline punyanya mas samsoe ya..
salam kenal mas.
bromo memang indah. tapi saya lebih jatuh cinta dengan pantai :p
Hidup terlalu singkat mas untuk “lebih menyukai” satu hal saja. Hehe. Keindahan indonesia lebih dari hamparan putihnya pasir pantai.
jiee… bromo jiee….
Dua kali dong dalam sebulan kesini.. Dan belum bosen ^^
Udah 4 kali ke bromo, ndak pernah bosan dan masih pengen kesana lagi 😀
Tentunya dongggg… Bagus banget ya ^^