Hari itu saya tidak terlalu bersemangat untuk berangkat ke Yogyakarta. Entah itu packing yang males-malesan, tempat menginap yang belum dicari sama sekali, itinerary yang belum dibuat, ya, saya tidak terlalu banyak berharap pada trip liburan kali ini.
Tujuan saya kala itu adalah melihat prosesi waisak dan pesta lampion yang tersohor sekali keindahannya. Patut saya akui, Arisan 2 The Movie memberi andil besar dalam mempengaruhi saya untuk mengunjungi waisak tahun ini. Call me hipster, judge me all you want, tapi akui sendiri olehmu, pesta lampionnya indah, kan? Dan itulah trigger terbesar untuk saya pergi ke magelang melalui jogja kali ini. Well saya sendiri tidak begitu suka dengan jogja, ya mungkin karena belum terlalu mengenal kota ini. Yang saya kagumi dari kota ini adalah keramahan penduduk, makanan yang murah, dan design kota yang cantik dan bersih.
Saya mengepak tas dan isi perlengkapan saya dengan setengah hati. Tidak ada ekspektasi untuk mendapatkan pengalaman trip yang ‘WOW’.
Dengan mobil teman saya yang menjemput dan mengantarkan menuju bandara, saya agak berkeluh tentang Jakarta yang begitu panas. Meski tidak antusias, saya berdoa kecil kelak jogja memberi saya kejutan manis untuk dikenang.
Di terminal 3, saya menunggu flight saya yang akan tiba 2 jam lagi. Memilih kursi di ujung dan mendengarkan lagu-lagu coldplay yang telah saya set dalam playlist.
Dan tanpa terasa, pesawatpun datang membawa saya menuju Jogjakarta.
Malam di Jogja
Dari bandara, saya tidak lekas langsung ke tempat menginap. Saya dan adik saya terlebih dahulu menjelajah malam, menikmati roti srikaya dan teh tarik panas dipinggir jalanan sosrowijayan, ada sebuah tempat makan bernama kopitiam jogja, ditemani cahaya bulan purnama, tidak ada momen seindah ini.
Lalu kami menarik gas motor melaju menuju alun-alun kidul (alkid) dan bertemu teman yang sudah lebih dulu sampai. Sempat duduk-duduk di angkringan sembari menyesap kopi panas, memakan bakso yang pedas, lalu memperhatikan suasana jogja yang dipenuhi semacam perpaduan becak dan sepeda yang dihiasi lampu-lampu berwarna. Indah dan menarik. Tentu saya tidak lupa untuk berjalan lurus dengan menutup mata diantara dua pohon besar ditengah lapangan alkid. Konon, hanya yang berhati bersih yang dapat melakukannya.
Setelah dari alkid, saya penasaran dengan penganan khas jogja yaitu oseng-oseng mercon daerah Jl. K.H. Ahmad Dahlan, sudah 3 kali dalam setahun ini saya ke jogja, tapi tak pernah mencicipinya. Dan dengan harga Rp. 10.000 untuk porsi kecil, dan Rp. 13.000 untuk porsi besar, oseng-oseng ini cukup dapat saya nikmati pedasnya.
Malam pun belum usai dihabiskan, saya menyempatkan diri untuk berfoto-foto di kawasan benteng Vredeburg. Dan berikut foto-fotonya:
Ulen Sentalu dan Waisak.
Tidak memiliki itinerary sendiri membuat saya pasrah dibawah oleh teman saya, @Ceritaeka @indobrad @agenmossad dan @adrian_sir kemananpun tujuan mereka. Kami bertemu di gudeg yu Djum samping hotel Sheraton jogja. Tidak ada yang special karena saya tidak begitu suka makanan manis, tapi untuk sebuah gudeg, saya cukup menikmati masakan Gudeg Yu Djum. Untuk gudeg dengan krecek, telor plus sayap ayam, harga yang ditawarkan adalah Rp. 18.000.

Itinerary pertama adalah Museum Ulen Sentalu di daerah Kaliurang (kawasan Merapi) saya tidak tahu betul museum macam apa yang akan saya datangi, but @Ceritaeka said “It is a pretty place, believe me”, dan ya, she was right! Museum yang dikelola oleh pihak swasta ini memiliki eksterior yang menyatu dengan alam. Pintu masuk yang rimbun oleh pepohonan dan dedaunan ini asri sekali dimata, apalagi dengan suhu yang lumayan dingin, menambah syahdu kenikmatan berjalan. Tiket masuk yang harus dibayar saat itu adalah Rp. 25.000, Cukup mahal memang untuk ukuran museum di Indonesia.
Sedikit berjalan kedalam , kami dipandu oleh guide yang dapat kita pilih, ingin menjelaskan dengan bahasa Indonesia atau bahasa inggris, itu tidak masalah karena yang manapun, guidenya berhasil menceritakan dengan apik cerita-cerita tentang kerajaan jogja dan solo. Dari mulai polemik yang ada di keluarga kerajaan hingga koleksi batik dan cerita-cerita yang terkandung di dalamnya. Di akhir tour, kita akan diarahkan menuju ke restoran yang ada di dalam museum. Karena hujan, saat itu kami merasa lebih baik duduk disana dan menikmati keindahan Ulen Sentalu dari dalam restoran. Saya memesan kopi dan hujan yang menemani membuat seketika suasana menjadi amat romantis.


Sekitar 2 jam disana, kami memutuskan untuk langsung menuju Candi Borobudur di Magelang. Dengan Adrian sebagai ‘pilot’ dan Eka sebagai ‘Co-pilot’ perjalan menjadi menyenangkan. Banyak hal yang kita perbincankan di jalanan. Tidak lama kok perjalanan ini ditempuh, sekitar satu jam kami sudah terjebak dalam kemacetan manusia yang berbondong-bondong di jalan. Dan kami semua memutuskan untuk memarkirkan mobil di pasar dan lebih baik berjalan kaki dikarenakan waktu yang cukup sempit.
Kesan saya saat berada di Borobudur “Ini perayaan hari besar sebuah agama, atau Festival sih?” karena banyak sekali warga yang datang kesana, pakaian pun banyak yang aneh-aneh, tank top dan hotpants saya rasa tidak pantas untuk dikenakan di sebuah acara agama. Saat itu disana benar-benar kacau dan berantakan. Sampah tergeletak dimana-mana, orang-orang berteriak mencari temannya, merokok disamping umat yang sudah berdoa. Sungguh kecil sekali toleransi di Negara kita. Bahkan ketika teman saya, Eka menegur mereka yang merokok, ternyata tidak diindahkan sama sekali. Hisapan dan kepulan asap justru dibumbungkan makin tinggi.
Detik prosesi penutupan yang seharusnya indah dan khidmat malah menjadi kacau. Menteri agama dan dan Pejabat lain yang diundang telat hampir 2 jam. Acara yang pada jadwal dimulai seharusnya jam 6 sore malah molor sampai jam 8 malam. Tak ayal, teriakan kekecewaan hamper disuarakan seluruh orang yang memadati pelataran Candi Borobudur. Disinipun saya cukup kecewa bahwa tidak adanya toleransi atau kesadaraan diri untuk hadir tepat waktu. Padahal beliau-beliau diundang sebagai rasa penghormatan untuk turut serta dalam acara besar keagamaan Budha. Sungguh, rasa saling menghormati telah menjadi barang mahal di negeri ini. Belum lagi para fotografer yang dengan sengaja naik ke altar, menginjak stupa, mengganggu prosesi doa dan konsentrasi biksu hanya demi sebuah foto yang bagus tapi tidak menggunakan nurani dalam melakukannya.

Acarapun berjalan berantakan. Saya yakin, dalam hati kecil, mungkin ada rasa kekecewaan di hati para budhis yang ada disana. Mereka telah menjadi host yang baik untuk kita para pengunjung yang ternyata ‘kesulitan untuk berterima kasih’. Saya berdoa, untuk para teman-teman budhis, semoga diberikan hati yang lapang untuk memafkan kami semua. Dan terima kasih untuk keindahan penataan Candi Borobudur malam itu, unforgettable! ^^
Pulang
Untuk sebuah trip tanpa perencanaan, perjalanan ini begitu menyenangkan, Saya dan teman-teman yang lain pun harus berpisah. Untuk perjalanan pulang, saya ditemani oleh @ipimaripi dan kawan-kawannya. Perjalanan pulang yang menyenangkan dan melelahkan. Ditemani hujan, nyanyi bersama, dan tak lupa foto-foto selama perjalanan.

Sebelum tiba di Jakarta, sebelum tersadar harus kembali bekerja, saya berucap “Terima kasih Tuhan, untuk sebuah hidup yang menyenangkan. Semoga perjalanan saya tak usai sampai disini saja”
Setelah perjalanan kemaren aku jadi suka jogja. Tempat favoritku di jalan sosrowijayan dekat malioboro ^^
aku rindu jogja
aku rindu pacaran
aku rindu ke pasar :’))))
jadi kamu kalo ke jogja suka pacaran di pasar? #gagalPaham
Jogja is a beautiful place, but now it’s getting crowded… Dua tahun lalu perayaan Waisak di Borobudur masih cukup tertib, entah kenapa sekarang bs begitu?
ya aku yakin karena semakin banyak ‘buzz’ sana sini. Entah itu di social media, atau blog. jadi makin banyak yang pengen kesana.
Senang ngabisin seharian denganmu fan. Lain kali bawa sepatu kalo liburan ya, biar gak sulit kalo harus jalan cepat.
Sekali lagi, aku enggak begitu suka memakai sepatu. Liburan adalah sebuah kenyamanan. Kalau jalan terus ditinggal, paling aku teriak-teriak mewek minta ditungguin :))))